Siguntur
Indonesia /
Sumatera Barat /
Sijunjung /
World
/ Indonesia
/ Sumatera Barat
/ Sijunjung
/ Indonesia /

Kerajaan Siguntur adalah kerajaan yang berdiri semenjak tahun 1250 pasca runtuhnya Kerajaan Dharmasraya dan bertahan selama beberapa masa hingga kemudian dikuasai oleh Kerajaan Pagaruyung tapi sampai sekarang ahli waris istana kerajaan masih ada dan tetap bergelar Sutan. Ahli waris yang memegang jabatan raja Siguntur hingga saat ini adalah Sutan Hendri
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung dibawah kerajaan Pagaruyung dibawah pemerintahan Adityawarman.
Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur, yang mirip dengan dialek Payakumbuh.
Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut Tari Toga (Tari Larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari Toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.
Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908 dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Pemerintahan Kolonial Belanda, raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk Tari Toga, pun vakum sudah.
"Tari Toga nyaris hilang, tari itu sudah lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur kepada PadangKini.com. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua dendang Tari Toga karena sejak tidak lagi berdendang, ia sering melantunkan dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan Tari Toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Tari Toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.
Berikut raja-raja Siguntur:
Periode Hindu-Buddha
Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290),
Sora (Lembu Sora) (1290-1300),
Pramesora (Pramesywara) (1300-1343),
Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347), --bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397),
Guci Rajo Angek Garang (1397-1425), dan
Tiang Panjang (1425-1560).
Periode Islam
Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650),
Sultan Abdul Qadir (1650-1727),
Sultan Amiruddin (1727-1864),
Sultan Ali Akbar (1864-1914),
Sultan Abu Bakar (1914-1968),
Sultan Hendri (1968-sekarang)—hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.
selengkapnya id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Siguntur (narasi by amrijal lubis, amsumbar@yahoo.com
Kalau diperhatikan dari raja-raja yang pernah memerintah, kerajaan ini juga bernaung dibawah kerajaan Pagaruyung dibawah pemerintahan Adityawarman.
Bahasa yang dipergunakan di kerajaan Siguntur adalah bahasa Minang dialek Siguntur, yang mirip dengan dialek Payakumbuh.
Kerajaan ini menyisakan sebuah jenis tarian yang disebut Tari Toga (Tari Larangan), sebuah tarian yang mirip dengan tarian Melayu dan tarian Minang. Tari Toga menjadi tari resmi kerajaan dan ditampilkan pada upacara penobatan raja (batagak gala), pesta perkawinan keluarga raja, upacara turun mandi anak raja, perayaan kemenangan pertempuran, dan gelanggang mencari jodoh putri raja.
Ketika Belanda berhasil masuk ke Siguntur pada 1908 dan raja-raja di Siguntur dan sekitarnya terpaksa mengakui kedaulatan Pemerintahan Kolonial Belanda, raja kehilangan kedaulatannya. Banyak benda kerajaan yang diambil, termasuk tambo (riwayat kerajaan yang tertulis) dan aktivitas kesenian kerajaan, termasuk Tari Toga, pun vakum sudah.
"Tari Toga nyaris hilang, tari itu sudah lama tidak dimainkan dan hanya diingat dengan cerita turun-temurun, saya mengumpulkan informasi lagi dan menghidupkan kembali pada 1989," kata Tuan Putri Marhasnida, salah seorang pewaris Kerajaan Siguntur kepada PadangKini.com. Marhasnida adalah adik sepupu raja sekarang, Sultan Hendri Tuanku Bagindo Ratu.
Ketika dirintis Marhasnida pada 1980-an, para penari dan pendendang sudah banyak yang meninggal. Untunglah ada seorang kakek yang usianya sudah lebih 80 tahun. Ia bekas pendendang yang masih hidup. Sang kakek masih hafal semua dendang Tari Toga karena sejak tidak lagi berdendang, ia sering melantunkan dendangnya ketika Batobo.
Batobo adalah membersihkan kebun atau menyabit di sawah bersama-sama, 30 sampai 60 orang. Si pendendang selalu Batobo agar orang-orang tak bosan bekerja seharian, ia disuruh berdendang sambil bekerja.
"Itulah sebabnya syair tetap diingat, sedangkan tarinya masih ada seorang nenek yang sudah bungkuk mengingatnya, dari ingatan itulah saya susun kembali dan melatih remaja di keluarga Kerajaan Siguntur untuk menarikan Tari Toga," kata sarjana pendidikan seni Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang (kini Universitas Negeri Padang) yang kini menjadi guru kesenian di SMP Negeri II Pulau Punjung, Dharmasraya itu.
Tari Toga modifikasi Marhasnida ini kemudian ditampilkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Padang pada 1990 dan dimainkan dalam berbagai acara Kerajaan Siguntur, termasuk menyambut peserta "Arung Sejarah Bahari Ekspedisi Pamalayu" yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, akhir Desember tahun lalu.
Berikut raja-raja Siguntur:
Periode Hindu-Buddha
Sri Tribuwana Mauliwarmadewa (1250-1290),
Sora (Lembu Sora) (1290-1300),
Pramesora (Pramesywara) (1300-1343),
Adityawarman (kanakamedinindra) (1343-1347), --bersamaan dalam memerintah Dharmasraya dan Pagaruyung.
Adikerma (putra Paramesora) (1347-1397),
Guci Rajo Angek Garang (1397-1425), dan
Tiang Panjang (1425-1560).
Periode Islam
Abdul Jalil Sutan Syah (1575-1650),
Sultan Abdul Qadir (1650-1727),
Sultan Amiruddin (1727-1864),
Sultan Ali Akbar (1864-1914),
Sultan Abu Bakar (1914-1968),
Sultan Hendri (1968-sekarang)—hanya sebagai penjabat saja, tanpa kekuasaan karena kerajaan Siguntur tinggal nama saja.
selengkapnya id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Siguntur (narasi by amrijal lubis, amsumbar@yahoo.com
Kota terdekat:
Koordinat: -0°57'21"N 101°33'15"E
- TP 10 km
- timpeh 24 km
- Pasar Silago Kec IX Koto 34 km
- sitiung 4 34 km
- Desa Bukit Sari / Bolk E Sitiung 2 42 km
- peranap 67 km
- lubuk kembang sari Sp 5 indosawit ukui 101 km
- Sumay 102 km
- klo tdk salah ini UPT III SP.IV Ds.Kampung Baru-Ukui-Pelalawan 106 km
- Teluk Singkawan (sumay) 106 km
- Gelanggang Olahraga Dharmasraya 15 km
- Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharmasraya 16 km
- sitiung 2 BLOK C 31 km
- Peranap 66 km
- Pandan Wangi 73 km
- MITOS/SEJARAH KECAMATAN BATHIN III 81 km
- Taman Nasional Tesso Nilo 97 km
- Taman Nasional Bukit Tiga Puluh 107 km
- Bandara Japura 110 km
- Rumah Makan Lintas Timur 113 km